Pre-arrival
Sudah 9 tahun aku jauh dari Indonesia. Cuma empat kali ku pulang kampung dari waktu yang lama itu. Bisa dibilang lebih dari seperempat hidupku aku habiskan di USA. Banyak hal yang ku dapatkan di sana antara lain tata cara hidup, bersosialisasi, hingga selera makan. I’ve been americanized, itu yang aku selalu bilang ke teman-teman Amerika ku.
Tetapi dengan datangnya influence-influence Amerika, menandakan Indonesia ku semakin terkikis sedikit demi sedikit. Bukan berarti darah dan roots ku sebagai orang Indonesia hilang. Lebih karena bisa dibilang aku ini berubah dari teenager jadi adult di USA, maka point of view aku sebagai adult adalah campuran dari roots Indonesia dan view of life dari USA. Gabungan pancasila, capitalism, dan liberatianism. Bukan berarti ini akan terus sama sampe aku tua. Seiring berjalannya waktu view-view ini akan berubah dan berganti.
Karena aku sudah menjadi orang yang berbeda selama 9 tahun, pulang kampung dan menetap di Indonesia menjadi hal yang menegangkan. Berbeda dengan pulang ke Indonesia pertama kali. Waktu itu aku baru setahun di USA, dan aku belom banyak berubah. Pikiranku pun masih belom mature enough untuk mengerti hidup. Semua terasa biasa saja, dan yang aku ingat cuma rasa rindu dengan keluarga dan ingin melihat makam eyang putri yang wafat saat aku di USA. Berbeda lagi dari pulang kampung yang ke empat kali. Aku udah ada pendirian dan point of view yang berbeda. Otakku sudah otak Amerika. Jadi pas pulang isinya denial kalo Indonesia itu parah. Semua yang di Indonesia itu jelek, hancur, berantakan. Bukannya membuat hati tenang, malah bikin pikiran stress. Jadi approach yang aku ambil saat pulang untuk menetap ini adalah menerima semua yang berbeda dari pandanganku dan menganggap semua itu hal wajar. Wajar di sini maksudnya berbeda dari membenarkan semua yang aku anggap salah. Salah tetap salah, tapi aku tidak punya obligasi untuk membenarkan.
Rasa menegangkan makin membesar mengingat pertengkaran aku dan ibuku karena kita punya beda pendapat. Could be the lowest point deep of my life, but I was living the dream in the US so I didn’t feel such a thing. Aku berpikir cukup lama apa membuat ini terjadi. Sampai di akhir pun aku belom bisa mengambil keputusan, tapi yang aku mau adalah mendekat ke orang tua ku karena aku merasa mereka sudah jauh dari hati ku. Semua masih terasa dekat karena adek ku sama-sama di USA, tapi ternyata itu hanya fata morgana. Keputusanku untuk pulang pun ditekadi dengan keinginan ku untuk mendekat ke orang tua. Dan untuk menghadap muka ke mereka itu sangatlah menegangkan.
Post-arrival
Sudah 6 bulan lebih aku di Jakarta, and I would say it has been tough. Di Amerika, aku hidup sendiri tanpa bantuan dana orang tua, tanpa obligasi mengurus keluarga, tanpa semuanya yang berkaitan dengan Indonesia. Saat sampai di Jakarta, I got my hands full of chores and obligation to help families. Yang paling parah, aku tidak punya personal space. Netflix bukan lagi jadi tempatku menenangkan diri, karena tidak ada lagi waktu menenangkan diri. Waktu untuk menenangkan diri cuma waktu tidur, dan aku harus membagi tidur dan Netflix, aku memilih youtube. Aku harus banyak melakukan perubahan, dan yes ini sulit.
Belom lagi proses transisi karirku di Indonesia. Aku sudah punya karir di Seattle, dan aku harus pulang dan memulai karir dari zero. Semua applicationku mampet, antara ga dibales sama sekali atau dibales bilang mohon maaf. Sempat kerja magang untuk beberapa bulan, tapi ga sampe habis karena merasa skill yang ku punya ga dipake dengan baik. Akhirnya ya bikin bisnis sendiri, bergerak sendiri, dibantu sama ayah ibu yang penting bergerak. Ada pula project sama sepupu2 tapi juga masih project jadi masih belom bisa terealisasikan. Sekarang yang penting bergerak.
Ada lagi kendala bahasa. Memang saat di Seattle aku berbicara bahasa Indonesia juga, tapi bahasa Indonesia di Indonesia berbeda. Aku masih bingung kapan harus pakai bahasa baku, kapan harus pake bahasa gaul. Kadang-kadang kurang sreg kalo pake bahasa gaul ke orang yang biasa pakai bahasa baku. Belom lagi banyak kosa kata yang aku lupa, jadi aku harus pake English buat jelasin apa yang aku maksud. Di sisi lain, aku ga mau kehilangan English ku jadi aku craving untuk ngobrol pake English ke native speaker. Dilemma yang ga begitu penting tapi kalau aku mau maju di Indonesia aku harus lanyah berbicara ke berbagai kalangan.
Tapi ada satu hal yang aku achieve selama aku di Indonesia, and I’m really proud of myself because of this. Beratku turun seberat 15 kg. Mungkin dulu aku pernah turun berat badan, tapi baru kali ini aku turunin dengan niatan sendiri dan merubah pola makan dan gaya hidup.
Ini terakhir aku foto di depan kantor.
Ini aku sekarang.
Memang masih work in progress, tapi ini achievement yang aku banggakan. Semua hal perlu waktu, termasuk mengecilkan berat badan.
Beyond
Sekarang aku fokus ke bisnis dan berbagai macam projects yang aku ikuti. Hidupku masih panjang dan aku yakin akan survive di Indonesia dengan standard yang telah ayah ibuku berikan. Ada plan untuk kembali ke US sebagai master’s student. Itu juga menjadi prioritas saat ini. Apapun itu akan coba ku kerjakan dan terus bergerak hingga mendapatkan yang aku inginkan selama ini.